3.1.a.8. Koneksi Antarmateri
Tujuan
Pembelajaran Khusus: CGP
membuat kesimpulan (sintesis) dari keseluruhan materi yang didapat, dengan
beraneka cara dan media.
“Mengajarkan anak menghitung itu baik,
namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”
(Teaching kids to count is fine but
teaching them what counts is best).
Bob Talbert
Modul 3 pada program guru penggerak ini, kami sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) belajar modul kepemimpinan. Modul ini mempelajari bagaimana cara kami nanti mengambil sebuah keputusan sebagai seorang pemimpin. Pada modul ini kami sebagai CGP diminta untuk membuat koneksi antar materi dari semua materi yang sudah di pelajari sampai saat ini.Setelah belajar modul 3.1 tentang pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin,modul ini sangat membantu dan memperkaya keterampilan kami terkait nilai-nilai yang dipelajari tersebut menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan. CGP tidak serta merta memberikan keputusan langsung, tetapi CGP menimbang terlebih dahulu dari segi paradigma yang dilewati atau berdasarkan keputusan apa jalan keluar yang mau diambil oleh CGP. CGP juga harus memikirkan dahulu dengan tahap uji klinis yang ada pada 9 langkah pengambilan keputusan. Saya merasakan adanya sensasi yang berbeda dan baru terkait saat pengambilan keputusan setelah mengenal dilema etika,bujukan moral, 4 paradigma, 3 prinsip serta 9 langkah pengambilan keputusan ini. Saya merasa keputusan yang diambil lebih baik dan saya juga merasa adil terhadap keputusan tersebut.Langkah pertama yang akan saya ambil terkait dilema etika adalah mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini hingga lihat lagi keputusan dan Refleksikan.Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.
Ketika R. M. Suwardi
Suryaningrat yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan
Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa) pada tahun
1922, beliau mencetuskan asas-asas pendidikan yang kerap kita kenal sebagai
patrap triloka. Patrap triloka terdiri atas tiga semboyan yang sampai saat ini
menjadi panutan di dunia pendidikan Indonesia: Ing ngarso sung tuladha,
Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Umumnya semboyan tersebut
diterjemahkan menjadi “di depan memberi teladan”, “di tengah membangun
motivasi”, dan “di belakang memberikan dukungan”. Setelah lebih dari sembilan
dasawarsa, semboyan tersebut masih kontekstual di tengah arus globalisasi dan
perkembangan teknologi digital yang sangat deras. Namun ada baiknya kita
mengelaborasi kembali makna patrap triloka tersebut di masa kini. Perubahan
konteks lingkungan sangat memungkinkan memunculkan pemaknaan baru terhadap
suatu warisan pemikiran pendahulu kita.Bahwa pandangan Ki Hajar Dewantara
dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap sebuah pengambilan
keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil sangatlah relevan.
Dalam kerangka lingkungan yang lebih egaliterian akibat kehadiran teknologi
digital, setiap asas dari patrap triloka bisa kita elaborasi kembali maknanya.
Pertama, Ing ngarso sung tuladha bisa dimaknai dengan lebih egaliter.
Sangat tepat sekali apabila seorang guru menjadi teladan karakter yang baik
seperti menjadi teladan kedisiplinan, sopan santun, dan sikap mental positif.
Namun alangkah lebih baik lagi bila di dalam konteks era digital yang
egaliterian ini, ketika sistem pendidikan kita menuntut para siswa untuk
belajar, guru dapat menjadi teladan pembelajar sepanjang hayat. Guru juga harus
terus belajar tanpa henti dan menunjukkan unjuk kerja pembelajarannya kepada
para siswanya. Salah satu contoh paling mudah adalah dengan melakukan
eksplorasi terhadap teknologi baru. Di dalam jaringan Internet terdapat beragam
piranti lunak yang dapat digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang
baru dan menyenangkan, sebut saja Pinterest, Edmodo, Glogster, dll. Atau
mungkin para guru perlu mencoba memanfaatkan jejaring media sosial seperti
Twitter dan Facebook untuk keperluan pembelajaran. Beberapa guru mungkin
memiliki resistensi dengan alasan sudah terlambat untuk mempelajari teknologi
baru tersebut. Kabar baiknya, teknologi digital yang ada sekarang dirancang
oleh pembuatnya agar pengguna semudah mungkin menggunakannya. Desain piranti
lunak digital yang baik selalu disertai user support. Kuncinya adalah
keberanian untuk mencoba hal baru dan semangat untuk menjadi teladan yang baik,
sebagai pembelajar sepanjang hayat: Ing ngarso sung tuladha. Belajar
mengintegrasikan teknologi digital dalam proses pembelajaran terkait dengan
elaborasi pemaknaan asas patrap triloka berikutnya: Ing madya mangun
karsa. Jika berbicara mengenai motivasi tentu kita dapat berbicara mengenai
motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Guru sebagai pemilik otoritas
umumnya berkewenangan untuk memberikan motivasi ekstrinsik. Namun dalam era
digital ini, pembelajaran berjalan dengan lebih optimal apabila anak memiliki
motivasi intrinsik, motivasi yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari dalam
dirinya sendiri. Pertanyaannya, bagaimana caranya membangun motivasi intrinsik
siswa? Manfaatkan teknologi digital. Teknologi digital, seperti Internet
dan digital game, sudah menjadi konsumsi keseharian siswa generasi saat
ini. Dengan integrasi teknologi digital di dalam proses pembelajaran, siswa
mendapatkan lingkungan belajar yang sesuai dengan konteks perkembangan zaman
mereka. Sebagai referensi, di Eropa dan Amerika para guru mulai
menerapkan game-based learning di dalam kelas-kelas mereka. Tidak
berhenti pada aktivitas menggunakan game edukasional yang tersedia,
para siswa diajak untuk membuat game mereka sendiri dengan
menggunakan piranti lunak bernama ‘Scratch’ yang dikembangkan oleh MIT
(Massachusetts Institute of Technology). Aktivitas membuat game mengkondisikan
siswa untuk menggali informasi yang dibutuhkan sesuai topik yang diberikan dan
menerapkannya ke dalam game yang mereka buat. Tentang motivasi
intrinsiknya, jangan ditanya, anak-anak
adalah game, dan game adalah anak-anak. Tentu, para siswa
tersebut sangat bersemangat. Terakhir, tut wuri handayani juga dapat
dielaborasi maknanya dalam konteks perkembangan teknologi digital. ‘Handayani’
berasal dari kata dasar ‘daya’. Sehingga, ‘handayani’ berarti ‘memberdayakan’
(empowering). Dalam konteks kekinian, tut wuri handayani bukan
semata-mata ‘di belakang memberikan dukungan’ tetapi juga tentang bagaimana
guru memberikan ruang dan kepercayaan kepada siswa. Banyaknya pandangan negatif
terhadap teknologi digital adalah cermin rendahnya ruang dan kepercayaan yang
diberikan kepada generasi muda saat ini. Adalah benar bahwa teknologi digital
membawa sisi buruk ketika dimanfaatkan tidak pada tempatnya. Tetapi, seperti
kata sebuah pepatah Cina, bukankah lebih baik kita menyalakan lilin daripada
mengutuk kegelapan? Memberi ruang dan kepercayaan kepada siswa akan melatih
siswa untuk menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Teknologi digital
yang berkembang akhir-akhir ini umumnya bersifat user-generated. Artinya
bahwa pengguna teknologi diberi kebebasan untuk membanjiri media yang tersedia
dengan konten yang dimilikinya. Contoh yang paling mudah adalah
layanan blog seperti Wordpress dan Blogspot. Ketersediaan teknologi
tersebut dapat digunakan untuk memberikan panggung kepada siswa mengekspresikan
apa yang telah dipelajarinya dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang
memberdayakan adalah manifestasi asas patrap triloka yang menjadi slogan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: tut wuri handayani. Meskipun
kondisi zaman berubah, pandangan Ki Hadjar Dewantara terhadap proses pembelajaran
masih kontekstual. Ketika itu beliau menginginkan bahwa pendidikan harus dapat
mencetak anak-anak yang dapat hidup tertib dan damai (orde en vrede), tumbuh
secara alami (natuurlijke groei), dan menentukan nasibnya sendiri
(Zelfbeschikkingsrecht). Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam patrap triloka
dapat dielaborasi dan dimaknai sesuai konteks yang ada. Dengan memaknai kembali
patrap triloka dan memanifestasikannya dalam proses pembelajaran, harapannya,
kita dapat mewujudkan cita-cita Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang
memerdekakan.Pendidikan
adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang
mandiri, agar tidak tergantung kepada orang lain baik lahir ataupun batin.
Kemerdekaan yang dimaksud terdiri dari 3 macam, yaitu; berdiri sendiri, tidak
tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur pada dirinya sendiri.Beberapa
falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro berkenaan dengan pendidikan:
1.
Segala alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan
kodratnya.
2.
Kodratnya itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat
dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup
tertib dan damai.
3.
Adat istiadat sifatnya selalu berubah ( Dinamis)
4.
Untuk mengetahui karakteristik masyarakat saat ini diperlukan
kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut dimasa lampau, sehingga
dapat diprediksi kehidupan yang akan datang pada masyarakat tersebut.
5.
Perkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur
lain, hal ini terjadi karena terjadinya pergaulan antar bangsa.
Dari
pengalaman kita bekerja kita pada institusi pendidikan, kita telah
mengetahui bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu
ke waktu.Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai
kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang,
kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan
penghargaan akan hidup.
Secara
umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang
bisa dikategorikan seperti di bawah ini:
1.
Individu lawan
masyarakat (individual vs community)
2.
Rasa keadilan
lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
3.
Kebenaran lawan
kesetiaan (truth vs loyalty)
4.
Jangka pendek
lawan jangka panjang (short term vs long term)
Etika
tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak
ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun
ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Dalam
seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu dalam
menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia
saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:
1.
Berpikir
Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
2.
Berpikir
Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
3.
Berpikir
Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
9
langkah Pengambilan Keputusan
Di
bawah ini adalah 9 langkah yang telah disusun secara berurutan untuk memandu
Anda dalam mengambil keputusan dalam situasi dilema etika yang membingungkan
karena adanya beberapa nilai-nilai yang bertentangan.
Langkah 1.
Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam
situasi ini.
Ada 2 alasan mengapa langkah ini adalah langkah yang penting
dalam pengujian keputusan. Alasan yang pertama, langkah ini mengharuskan kita
untuk mengidentifikasi masalah yang perlu diperhatikan, alih-alih langsung
mengambil keputusan tanpa menilainya dengan lebih saksama. Alasan yang kedua
adalah karena langkah ini akan membuat kita menyaring masalah yang betul-betul
berhubungan dengan aspek moral, bukan masalah yang berhubungan dengan sopan
santun dan norma sosial. Untuk mengenali hal ini bukanlah hal yang mudah. Kalau
kita terlalu berlebihan dalam menerapkan langkah ini, dapat membuat kita
menjadi orang yang terlalu mendewakan aspek moral, sehingga kita akan
mempermasalahkan setiap kesalahan yang paling kecil pun. Sebaliknya bila kita
terlalu permisif, maka kita bisa menjadi apatis dan tidak bisa mengenali
aspek-aspek permasalahan etika lagi.
Langkah 2.
Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.
Bila kita telah mengenali bahwa ada masalah moral di situasi
tertentu. Pertanyaannya adalah dilema siapakah ini? Hal yang seharusnya
membedakan bukanlah pertanyaan apakah ini dilema saya atau bukan. Karena dalam
hubungannya dengan permasalahan moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil.
Langkah 3
Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.
Pengambilan keputusan yang baik membutuhkan data yang lengkap
dan detail, seperti misalnya apa yang terjadi di awal situasi tersebut,
bagaimana hal itu terkuak, dan apa yang akhirnya terjadi, siapa berkata apa
pada siapa, kapan mereka mengatakannya. Data-data tersebut penting untuk
kita ketahui karena dilema etika tidak menyangkut hal-hal yang bersifat teori,
namun ada faktor-faktor pendorong dan penarik yang nyata di mana data yang
mendetail akan bisa menggambarkan alasan seseorang melakukan sesuatu dan kepribadian
seseorang akan tercermin dalam situasi tersebut. Hal yang juga penting di sini
adalah analisis terhadap hal-hal apa saja yang potensial akan terjadi di waktu
yang akan datang.
Langkah 4
Pengujian benar atau salah
o
Uji Legal
Pertanyaan yang harus diajukan disini adalah apakah dilema etika
itu menyangkut aspek pelanggaran hukum. Bila jawabannya adalah iya, maka
pilihan yang ada bukanlah antara benar lawan benar, namun antara benar lawan
salah. Pilihannya menjadi membuat keputusan yang mematuhi hukum atau tidak,
bukannya keputusan yang berhubungan dengan moral.
o
Uji Regulasi/Standar Profesional
Bila dilema etika tidak memiliki aspek pelanggaran hukum di
dalamnya, mungkin ada pelanggaran peraturan atau kode etik. Konflik yang
terjadi pada seorang wartawan yang harus melindungi sumber beritanya,
seorang agen real estate yang tahu bahwa seorang calon pembeli potensial
sebelumnya telah dihubungi oleh koleganya? Anda tidak bisa dihukum karena
melanggar kode etik profesi Anda, tapi Anda akan kehilangan respek sehubungan
dengan profesi Anda.
Langkah 5
Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.
Dari keempat paradigma berikut ini, paradigma mana yang terjadi
di situasi ini?
1.
Individu lawan masyarakat (individual vs community)
2.
Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)
3.
Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)
4.
Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)
Apa pentingnya mengidentifikasi paradigma, ini bukan hanya
mengelompokkan permasalahan namun membawa penajaman pada fokus kenyataan bahwa
situasi ini betul-betul mempertentangkan antara dua nilai-nilai inti kebajikan
yang sama-sama penting.
Langkah 6
Melakukan Prinsip Resolusi
Dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai?
o
Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
o
Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
o
Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
Langkah 7
o
Investigasi Opsi Trilema
o
Mencari opsi yang ada di antara 2 opsi. Apakah ada cara untuk
berkompromi dalam situasi ini. Terkadang akan muncul sebuah penyelesaian yang
kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah
kebingungan menyelesaikan masalah
Langkah 8
o
Buat Keputusan
o
Akhirnya kita akan sampai pada titik di mana kita harus membuat
keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya.
Langkah 9
o
Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan
o
Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan
keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus
selanjutnya.
Bahwa suatu situasi
yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku
seperti apa yang tepat untuk dilakukannya dan itu terjadi karena benar vs benar
antara Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) atau Berpikir Berbasis
Rasa Peduli (Care-Based Thinking).Misalnya : Menyontek tetaplah salah apapun
alasannya.Namun Dilema melaporkan kasus adalah benar karena Berpikir Berbasis
Peraturan (Rule-Based Thinking) sedangkan memberikan pengecualian atas dasar
masa depan anak juga tidaklah salah karena Berpikir Berbasis Rasa Peduli
(Care-Based Thinking).
Bahwa etika tentunya
bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan
baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip
di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Dalam
seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu dalam
menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia
saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:
1. Berpikir
Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
2. Berpikir
Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
3. Berpikir
Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)
Bahwa
9 langkah yang telah disusun secara berurutan sangat memandu kami dalam
mengambil keputusan dalam situasi dilema etika yang membingungkan karena adanya
beberapa nilai-nilai yang bertentangan.Mulai dari Langkah 1. Mengenali
bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini hingga lihat
lagi keputusan dan Refleksikan.Ketika keputusan sudah diambil. Lihat
kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan
acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.
Dampak mempelajari
modul ini adalah sangat positif, bahwa terjadi perubahan pada cara dalam
mengambil keputusan.Sebelumnya bujukan moral terkadang dianggap benar, Berpikir
Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking), dan singkatnya implementasi dilema
etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip
pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan belum
tepat sasaran. Setelah mempelajari modul ini adalah sangat positif bahwa
terjadi perubahan pada cara dalam mengambil keputusan menjadi sangat
sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4
paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah
pengambilan dan pengujian keputusan.
Sangat penting mempelajari topik modul ini sebagai
seorang individu, bahwa cara dalam mengambil keputusan menjadi sangat
sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4
paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah
pengambilan dan pengujian keputusan memberikan kepastian kongkrit sehingga
menjadi seorang individu yang lebih baik.Sangat penting mempelajari topik modul
ini sebagai seorang pemimpin pembelajaran, bahwa cara dalam mengambil keputusan
menjadi sangat sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan
bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan
keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan memberikan
kepastian kongkrit dalam tatanan tugas dan tanggung jawab profesi. Suka
atau tidak, di luar kelebihan dan kelemahannya, baik atau tidak karakternya,
guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat diteladani di tengah
masyarakat kita. Guru sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi teladan
bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan
sengaja atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa.
Menjadi teladan harus diusahakan secara sadar.Lumpkin (2008), menyatakan bahwa
guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan
dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami
nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka memercayainya
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka
terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai
kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka.Menjadi
change leaders from change agents dalam
transformasi Pendidikan di sekolah utamanya menciptakan kelas seperti taman,
yang pembelajarannya menuntun, pembelajaran berhamba pada murid, juga
mengimplementasikan pendidikan budi pekerti sejalan dengan penguatan pendidikan
karakter, mengembalikan jati diri guru yang seyogyanya menjadi pemimpin
pembelajaran sesuai dengan filosofi bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar
Dewantara yakni ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani” artinya ”Di Depan Menjadi Panutan atau Contoh, Di Tengah menjadi
Penjalar atau Penyeimbang, dan di Belakang melakukan Dorongan (prajurit,
ibaratnya)”. Dalam hal ini dikolaborasikan dalam rancangan pembelajaran (RPP ),
pelaksanaan pembelajaran ( KBM) dan asesmen terhadap pembelajaran itu sendiri
sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ( UUGD ).
Kesimpulan akhir saya terkait modul pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dengan modul-modul sebelumnya merupakan sebuah rangkaian paralel yang tak dapat terpisahkan untuk mencapai sebuah kemerdekaan dalam belajar bagi murid. Semuanya terlihat sangat jelas sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam proses menuntun segala kodrat/potensi anak untuk mencapai sebuah keselamatan dan kebahagiaan belajar, baik untuk dirinya sendiri, lingkungan sekolah, dan masyarakat. Disamping itu, terdapat nilai dan peran guru penggerak sebagai agen perubahan transformasi pendidikan di sekolah asal dalam menerapkan budaya positif dengan mengedepankan pembelajaran yang berpihak kepada murid
Link Youtube Demontrasi Kontekstual -Pengambilan Keputusan sebagai pemimpin pembelajaran
https://youtu.be/bQBhO62sCqQ
Jelaskan
pula bagaimana Anda melihat kaitan antara materi dalam modul ini
dengan modul lain di Program Pendidikan Guru Penggerak.
REFLEKSI FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL KI HADJAR DEWANTARA
Ki Hadjar Dewantara (KHD)
membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalammemahami arti dan tujuan
Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan.
Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk
kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding)
memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia
mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya baik sebagai
seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009),
“pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk
segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupunhidup
berbudaya dalam arti yang seluas luasnya”. Pendidikan adalah tempat persemaian
benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk
menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu
kunci utama untuk mencapainya. Ki
Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang
ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh
sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya
kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya
(bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak” .Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat
anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang
kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak
tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu
bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah
yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka
meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas)
dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian
sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik
namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya
matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh
namun tidak akan optimal. Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun
pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak
kehilangan arah dan membahayakan dirinya.Seorang
‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan
kemerdekaannya dalam belajar. KHD menjelaskan bahwa
dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman.
Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak
berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan
antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan
tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta
(kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih
merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.
NILAI-NILAI DAN PERAN GURU
PENGGERAK
Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan di dalam diri murid-muridnya. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan lingkungan dimana murid berproses menumbuhkan nilai-nilai dirinya tersebut. Dengan demikian, guru patut mengembangkan lingkungan yang sifatnya fisik (ekstrinsik) dan yang sifatnya psikis (intrinsik).
VISI GURU PENGGERAK
VISI: MENGELOLA PERUBAHAN DAN LINGKUNGAN YANG POSITIF
Menjadikan sekolah sebagai
rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal
yang umum diinginkan semua pihak. Namun, dalam prakteknya, kalimat tersebut
bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan karena diperlukan perubahan yang
mendasar dan upaya yang konsisten. Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya
membutuhkan waktu dan bersifat gradual. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, guru
penggerak hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya
menggerakkan orang lain yang berada di bawah pengaruhnya untuk menjalani proses
bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi
mewujudkan visi sekolah. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi
paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan
manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini
pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Dalam
sebuah video di Youtube, Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat
membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang
dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang
biasa. IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan
positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang
dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan
potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai
dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan
yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya
dalam melakukan perencanaan perubahan. Dalam modul 1.3 ini, kita akan belajar tentang IA sebagai salah
satu model manajemen perubahan dan mencoba menerapkannya melalui tahapan dalam
IA yang disebut dengan BAGJA (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi,
Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi).
BUDAYA
POSITIF
Budaya
sekolah yang berdampak baik pada pengembangan karakter murid. Kita semua
percaya bahwa tujuan penting sekolah adalah pembentukan karakter. Itu mengapa
banyak program sekolah yang bertujuan untuk menumbuhkan karakter murid.
Misalnya saja dulu pernah ada program kantin kejujuran dengan tujuan
menumbuhkan karakter jujur pada murid atau program yang banyak dicanangkan saat
ini adalah program literasi untuk menumbuhkan karakter kritis pada murid. Sebagai guru saya akan
memosisikan diri saya sebagai guru 5 manager karena menerapkan konsepsi
filosofis pendidikan KHD, menuju murid merdeka yang tetap dalam kontrol
positif.Rencana ke depan saya akan melakukan seperti guru 5 manager karena
menerapkan konsepsi filosofis pendidikan KHD, menuju murid merdeka yang tetap
dalam kontrol positif. Pada umumnya orang sering
melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', namun disiplin dan
hukuman adalah dua hal yang berbeda.Disiplin merujuk
pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau
perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku murid, disiplin dimaksudkan untuk
mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang
kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka
pelajari. Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan
murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif.
Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga
harapan murid terhadap pengajar. Kesepakatan disusun dan dikembangkan
bersama-sama antara guru dan murid. Penerapan kesepakatan kelas dapat membangun budaya
positif karena kesepakatan kelas adalah kesepakatan bersama yang saling
menghargai pendapat untuk sebuah proses yang sangat baik sehingga terbangun
budaya positif. Disiplin Positif sebagai landasan budaya positif dalam
membangun hubungan guru dan murid di sekolah.
Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran
Berdiferensiasi
Pembelajaran
berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense)
yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.
Keputusan-keputusan
yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:
1.
Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid
untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi.
Kemudian juga memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada
dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya.
2.
Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas.
Jadi bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun
juga muridnya.
3.
Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi
yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk
dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana
yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar
yang
ditetapkan.
4.
Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya.
Bagaimana ia akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan
belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang
berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.
5.
Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur,
rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur
yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas
tetap dapat berjalan secara efektif.
Bahwa diferensiasi pembelajaran bukan hanya dapat dilakukan dalam
3 bentuk (konten, proses, produk), tetapi juga bentuk lainnya,
misalnya
diferensiasi lingkungan
belajar.
Dari yang sudah
dipelajari pada materi awal modul 2.1 pembelajaran berdiferensiasi tentunya
akan mengubah pola pikir tentang bagaimana mengajar yang baik menjadi sistem
mengajar berdiferensiasi yang baik bagi.
Dari cara melihat
perbedaan pembelajaran yang baik dan pembelajaran diferensiasi yang baik, jelas
terlihat disini, dengan menerapkan salah satu strategi pembelajaran
berdiferensiasi ketika kita membuat rancangan peta kebutuhan belajar
berdasarkan minat tujuan pembelajaran akan sangat terasa perbedaan dalam kita
menerapkan sistem pembelajaran berdiferensiasi dan dituangkan ke dalam rencana
pelaksanaan pembelajaran.
Sistem pembelajaran
yang sangat baik yang harus diterapkan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar.
Fakta yang disampaikan bahwa pembelajaran berdiferensiasi ini adalah ada
beberapa strategi yang harus dilakukan oleh seorang guru yang
kesemuanya itu harus mencerminkan pemahaman murid dan tujuan pembelajaran.
Dalam pembelajaran
berdiferensiasi harus memperhatikan strategi-strategi dalam penerapannya, ada 3
strategi yang kita harus perhatikan yaitu:
1. Konten
Dimana strategi ini
guru harus memperhatikan kesiapan murid yang berupa rangsangan kepada murid
berupa tantangan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai pemahaman ide. Lalu minat,
contohnya pada muatan pelajaran Bahasa Indonesia pada mengarang berbagai teks
narasi topik yang disukai murid. Selanjutnya adalah profil belajar murid disini
murid disuguhi gaya belajar visual yang diberikan dlm bentuk gambar/ materi
audio.
2. Proses
Dimana strategi ini
guru mempersiapkan bagaimana murid memahami informasi, kesiapan belajar individu
atau klompok, dan yang terakhir adalah berapa banyak bantuan dari guru untuk
murid dengan bentuk pertanyaan memandu.
3. Produk
Adalah tagihan apa yang
kita harapkan dari murid/ hasil pekerjaan murid yang di tunjukan kepada guru,
berupa: berbentuk karangan, berbentuk hasil tes, presentasi diskusi,
pertunjukan, pidato, rekaman, diagram. yang kesemuanya itu harus mencerminkan
pemahaman murid dan tujuan pembelajaran yang di harapkan
Di awali dengan cara
guru membuat pemetaan Kebutuhan Belajar Berdasarkan Minat Tujuan
Pembelajaran, ada 3 contoh pemetaan disini adalah:
1. Pemetaan
Kebutuhan Belajar Berdasarkan Minat: murid dapat membuat tulisan berbentuk
prosedur.
Dalam contoh di sini,
guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan perbedaan minat
murid.
2. Pemetaan
Kebutuhan Belajar Berdasarkan Kesiapan Belajar (Readiness)
Dalam contoh di sini,
guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan kesiapan belajar
murid.
3. Pemetaan
Kebutuhan Belajar Berdasarkan Profil Belajar Murid: murid dapat
mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang habitat makhluk hidup
Dalam contoh di sini,
guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan perbedaan gaya
belajar.
Dilanjutkan dengan
menggabungkan : (1) konten — masukan, apa yang dipelajari
murid; (2) proses — bagaimana murid berupaya memahami ide dan
informasi; dan (3) produk — keluaran, atau bagaimana murid
menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.
Dengan membedakan
ketiga elemen ini, guru menawarkan pendekatan berbeda terhadap apa yang
dipelajari murid, bagaimana mereka mempelajarinya, dan bagaimana mereka
menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Kesamaan dari pendekatan yang
berbeda ini adalah bahwa semuanya dibuat untuk mendorong pertumbuhan semua
murid dalam usaha mereka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan
untuk memajukan atau meningkatkan proses pembelajaran baik untuk kelas secara
keseluruhan maupun untuk murid secara individu.
Selanjutnya Lingkungan
belajar yang mendukung pembelajaran yang berdiferensiasi. Learning community/
Komunitas Belajar yang semua anggotanya pembelajar (saling dukung lingkungan
belajar antara guru dengan murid). Maka pemenuhan kebutuhan belajar murid
akan mencapai hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran
berdiferensiasi sangat erat kaitannya dengan apa yang sudah menjadi tujuan
utama para guru yaitu menuntun anak-anak murid sesuai dengan minat dan bakat
mereka yang berbeda, menumbuhkan motivasi intrinsik para murid untuk lebih
bersemangat dalam kegiatan belajar mereka, sehingga karakter baik pun akan
terbentuk menuju karakter profil pelajar pancasila.
Pembelajaran Sosial dan Emosional
Pembelajaran
Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif
seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang
dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap
positif mengenai aspek sosial dan emosional. Pembelajaran sosial dan emosional
bertujuan untuk 1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk
mengelola emosi 2)menetapkan dan mencapai tujuan positif 3)merasakan dan
menunjukkan empati kepada orang lain 4)membangun dan mempertahankan hubungan
yang positif serta 5)membuat keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran
sosial dan emosional dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup:
1.
Rutin: pada saat kondisi yang sudah ditentukan di luar waktu belajar akademik,
misalnya kegiatan lingkaran pagi (circle time), kegiatan membaca setelah jam
makan siang
2.
Terintegrasi dalam mata pelajaran: misalnya melakukan refleksi setelah
menyelesaikan sebuah topik pembelajaran, membuat diskusi kasus atau kerja
kelompok untuk memecahkan masalah, dll.
3.
Protokol: menjadi budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan
bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah
untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Misalnya, menyelesaikan konflik
yang terjadi dengan membicarakannya tanpa kekerasan, mendengarkan orang lain
yang sedang berbicara, dll.
Pembelajaran
KSE meliputi 5 kompetensi sosial dan emosional dalam 3 ruang lingkup (rutin,
terintegrasi dalam mapel, dan protokol) sesuai dengan jenjang pendidikan masing
Stres dalam istilah psikologi menurut Laura King, dalam bukunya “The Science of
Psychology”, adalah respons individu terhadap kejadian atau
keadaan yang
mengancam.
Ibu Adriana berada dalam situasi stress karena begitu banyak tuntutan peran dan
tanggungjawab yang perlu ditanggungnya. Sebut saja peran sebagai guru dengan
tanggung
jawab yang tidak kecil, menjadi panitia acara besar, memenuhi tanggung
jawab personal dalam keluarga, itu semua
bukanlah perkara mudah. Ekspresi emosi yang ditunjukkan Ibu Adriana dalam
contoh kasus 1–5 bisa jadi muncul sebagai responnya terhadap keadaan atau
situasi lingkungan saat itu. Keadaan yang tanpa disadari Ibu Adriana mengancam
dirinya. Untuk mencapai pemahaman kesadaran diri dan
mampu mengenali emosinya, Ibu Adriana perlu mempraktikkan kesadaran penuh
(mindfulness). Teknik STOP berikut ini dapat digunakan untuk mengembalikan pada
kondisi saat ini dengan kesadaran penuh. STOP merupakan akronim dari:
Stop/ Berhenti. Hentikan apapun yang sedang Anda lakukan.
Take a deep Breath/ Tarik nafas dalam. Sadari
napas masuk, sadari napas keluar.
Rasakan
udara segar yang masuk melalui hidung. Rasakan udara hangat yang keluar
dari
lubang hidung. Lakukan 2-3 kali. Napas masuk, napas keluar.
Observe/ Amati. Amati apa yang Anda rasakan pada tubuh Anda?
Amati perut
yang
mengembang sebelum membuang napas. Amati perut yang mengempes saat
Anda
membuang napas. Amati pilihan-pilihan yang dapat Anda lakukan.
Proceed/ Lanjutkan. Latihan selesai. Silahkan
lanjutkan kembali aktivitas Anda
dengan
perasaan yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan sikap yang lebih
positif.
Kesadaran
penuh (mindfulness) memiliki korelasi yang tinggi terhadap kesadaran
diri
sebagai kompetensi pembelajaran sosial dan emosional. Kembali kepada
pengenalan
emosi, terdapat enam emosi dasar pada kita manusia. Enam emosi
tersebut
yaitu takut, jijik, marah, kaget, bahagia, dan sedih. Emosi-emosi ini muncul
akibat
reaksi fisik, aktivitas pikiran dan pengaruh budaya. Saat Ibu Adriana sadar
bahwa saat itu dirinya sedang mengalami gejolak emosi tertentu, Ibu Adriana
perlu mengenali dengan memberi nama emosinya saat itu. Jadi saat mempraktikkan
kesadaran penuh, Ibu Adriana dapat mulai merasakan dan mengenali dengan jelas
emosinya saat itu. Maka dia pun mulai dapat memberikan nama terhadap emosinya.
Contoh: Saya merasa … (marah, sedih, kecewa).
Robert Plutchick sangat
terkenal dengan karyanya tentang teori emosi manusia atau disebut Roda
Emosi Plutchik (Plutchik's Wheel of Emotions). Ia
menerangkan delapan emosi dasar yang masing-masing dapat dibagi tiga menurut
intensitasnya. Berikut daftar ke-8 emosi dasar dan tiga sub-bagiannya berurut
menurut intensitas dari rendah ke tinggi, antara lain:
1. kegembiraan (joy): serenity - joy - ecstasy
2. kepasrahan (acceptance): acceptance - trust - admiration
3. ketakutan (fear): apprehension - fear - terror
4. keterkejutan (surprise): distraction - surprise - amazement
5. kesedihan (sadness): pensiveness - sadness - grief
6. kemuakan
(disgust): boredom - disgust - loathing
7. kemarahan (anger): annoyance - anger - rage
8. antisipasi
(anticipation): interest - anticipation –
vigilance
Gabungan emosi-emosi
dasar tersebut menyusun delapan emosi lanjut:
1. kecintaan (love)
2. ketundukan
(submission)
3. ketakjuban
(awe)
4. kekecewaan
(disapproval)
5. penyesalan
(remorse)
6. pelecehan
(contempt)
7. keagresifan
(aggressiveness)
8. optimisme (optimism)
Dari paparan atau
bagian-bagian yang dijelaskan oleh Robert Plutchik, kita akan lebih mudah dalam
memahami semua emosi manusia, bahkan jika kita menghadapi masalah akan lebih
dimudahkan, sehingga teori Robert ini serta bagan-bagannya bisa menjadi patokan
kita dalam mempelajari Sosial-emosional anak usia dini.
KESIMPULAN Modul 2.3 Koneksi Antar Materi - Coaching
PENJELASAN ISTILAH KUNCI
:
·
coach
: pemberi manfaat dan
pelaksana kegiatan coaching
·
coachee
: penerima kegiatan dan
manfaat kegiatan coaching
·
coaching
: kegiatan percakapan
yang menstimulasi pemikiran coachee dan memberdayakan potensi coachee
·
community
of practice :
sebuah kelompok yang terbentuk dengan tujuan berlatih dan mempraktikan materi
pelatihan untuk pengembangan bersama
MATERI POKOK Modul 2.3 Coaching
a)
Pengenalan sistem coaching
dalam konteks pendidikan
Para ahli mendefinisikan
coaching sebagai: • sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi,
berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi
peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan
pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999)
• kunci pembuka potensi
seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya.
Coaching lebih kepada membantu
seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003)
International Coach
Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai: “…bentuk kemitraan bersama
klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang
dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan
proses kreatif.” Dari definisi ini, Pramudianto (2020) menyampaikan tiga makna
yaitu:
1.
Kemitraan. Hubungan coach dan coachee adalah
hubungan kemitraan yang setara. Untuk membantu coachee mencapai
tujuannya, seorang coach mendukung secara maksimal tanpa memperlihatkan
otoritas yang lebih tinggi dari coachee.
2.
Memberdayakan. Proses inilah yang membedakan coaching dengan
proses lainnya. Dalam hal ini, dengan sesi coaching yang ditekankan pada
bertanya reflektif dan mendalam, seorang coach menginspirasi coachee
untuk menemukan jawaban-jawaban sendiri atas permasalahannya.
3.
Optimalisasi. Selain menemukan jawaban sendiri, seorang coach akan
berupaya memastikan jawaban yang didapat oleh coachee diterapkan dalam
aksi nyata sehingga potensi coachee berkembang.
Ki Hadjar Dewantara
menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun tumbuhnya atau hidupnya
kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu peran
seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat
(potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun
anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun
pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak
kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan
‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak
terpancar dari dirinya. Dalam konteks pendidikan
Indonesia saat ini, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’
kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi
proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya
program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Program ini dapat membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk
mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan
potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah
tepat bagi guru untuk membantu murid mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan dalam
belajar. Masih
terkait dengan kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses
untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam
dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan
dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis
dan mendalam. Yang akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan
mengembangkannya.
Murid kita di sekolah
tentunya memiliki potensi yang berbeda-beda dan menunggu
untuk dikembangkan.
Pengembangan potensi inilah yang menjadi tugas seorang
guru. Apakah
pengembangan diri anak ini cepat, perlahan-lahan atau bahkan
berhenti adalah tanggung
jawab seorang guru. Pengembangan diri anak dapat
dimaksimalkan dengan
proses coaching. International Coach
Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi
seorang coach yaitu: Empat keterampilan dasar seorang coach seharusnya
dapat dimiliki oleh guru yakni :
1. keterampilan membangun
dasar proses coaching
2. keterampilan membangun
hubungan baik
3. keterampilan
berkomunikasi
4.
keterampilan memfasilitasi pembelajaran
b)
Komunikasi yang
memberdayakan (Menjadi pendengar aktif, bertanya reflektif dan memberikan umpan
balik positif)
4 unsur utama yang mendasari prinsip komunikasi yang memberdayakan:
1)
Hubungan saling mempercayai
2)
Menggunakan data yang benar
3)
Bertujuan menuntun para pihak
untuk optimalisasi potensi
4)
Rencana tindak lanjut atau
aksi
Coaching adalah salah satu
kompetensi pemimpin di abad 21 yang perlu untuk terus dikembangkan, dan lewat
keterampilan berkomunikasi yang terus diasah, kita dapat memberdayakan potensi
murid kita sehingga baik mereka ataupun diri kita sendiri dapat optimal dalam belajar
dan berkarya. empat
aspek berkomunikasi yang perlu kita pahami dan kita latih untuk mendukung
praktik Coaching kita.
A. Komunikasi asertif
B. Pendengar aktif
C. Bertanya efektif
D. Umpan balik positif
c)
Pengetahuan dan
keterampilan model coaching (model GROW dan TIRTA)
TIRTA dikembangkan dari
satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan,
yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality,
Options dan Will.
Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa
tujuan yang hendak
dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality
(Hal-hal yang
nyata): proses menggali
semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options
(Pilihan): coach membantu
coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran
selama sesi yang
nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan
untuk maju): komitmen coachee
dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya. Model TIRTA
dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki
keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan
coaching yaitu untuk melejitkan
potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui
model TIRTA, guru
diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan
mudah.
Link youtube Demonstrasi Kontekstual - Praktek Coaching dalam Komunitas Sekolah Saya https://youtu.be/io8SCQXHbjU
Koneksi antar materi mulai dari Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara; Nilai-Nilai, Peran, dan Visi Guru Penggerak; Budaya Positif; Praktik Pembelajaran Yang Berpihak Pada Murid; Pembelajaran Berdiferensiasi; Pembelajaran Sosial Emosional; dan Coaching terintergrasikan runtut dan sistematis sehingga sintesis yang dimunculkan dalam upaya memandu Pemimpin Pembelajaran sebagai pengambil keputusan dapat berkontribusi luar biasa positif pada proses pembelajaran murid. Sangat menginspirasi dan menjadi bahan refleksi diri dalam upaya peningkatan kompetensi untuk para guru Indonesia, guru yang meyakini profesinya mulia, guru yang memiliki roh spirit seorang guru, guru sejati.
BalasHapusTerimakasih, Semoga jiwa KHD yakni untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya adalah benar-benar pendidikan yang berpihak pada murid.
HapusPoin-poin materi yang disampaikan sangat jelas dan terdapat keterkaitan antar materi, sehingga sangat mudah dipahami untuk memandu guru dalam proses pembelajaran dan peningkatan kompetensi guru dalam mengajar. Saya sebagai mahasiswa dan merupakan calon guru akan merasa terbantu dengan adanya panduan proses pembelajaran ini, sehingga nantinya pendidikan akan berkembang kearah yang lebih baik. Dan poin yang paling penting adalah ini sangat menginspirasi dan dapat menjadi panutan bagi para guru dan calon-calon guru di masa depan.
BalasHapusTerimakasih, Semoga Patrap triloka yang sampai saat ini menjadi panutan di dunia pendidikan Indonesia: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Umumnya semboyan tersebut diterjemahkan menjadi “di depan memberi teladan”, “di tengah membangun motivasi”, dan “di belakang memberikan dukungan” benar-benar diimplementasikan oleh guru-guru di nusantara sehingga jiwa KHD milenial mewarisi jiwa yang tulus, jiwa yang benar-benar konsepsinya KHD jiwa yang menjunjung tinggi kearifan lokalnya merawat kebhinekaan di langit NKRI
Hapus