Kamis, 08 April 2021

Pemimpin pembelajaran sebagai pengambilan keputusan dapat berkontribusi pada proses pembelajaran murid

 3.1.a.8. Koneksi Antarmateri

Tujuan Pembelajaran Khusus: CGP membuat kesimpulan (sintesis) dari keseluruhan materi yang didapat, dengan beraneka cara dan media.

“Mengajarkan anak menghitung itu baik, namun mengajarkan mereka apa yang berharga/utama adalah yang terbaik”

(Teaching kids to count is fine but teaching them what counts is best).

Bob Talbert

Modul 3 pada program guru penggerak ini, kami sebagai Calon Guru Penggerak (CGP) belajar modul kepemimpinan. Modul ini mempelajari bagaimana cara kami nanti mengambil sebuah keputusan sebagai seorang pemimpin. Pada modul ini kami sebagai CGP diminta untuk membuat koneksi antar materi dari semua materi yang  sudah di pelajari sampai saat ini.Setelah belajar modul 3.1 tentang pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin,modul ini sangat membantu dan memperkaya keterampilan kami terkait nilai-nilai yang dipelajari tersebut menjadi landasan utama dalam pengambilan keputusan. CGP tidak serta merta memberikan keputusan langsung, tetapi CGP menimbang terlebih dahulu dari segi paradigma yang dilewati atau berdasarkan keputusan apa jalan keluar yang mau diambil oleh CGP. CGP juga harus memikirkan dahulu dengan tahap uji klinis yang ada pada 9 langkah pengambilan keputusan. Saya merasakan adanya sensasi yang berbeda dan baru terkait saat pengambilan keputusan setelah mengenal dilema etika,bujukan moral, 4 paradigma, 3 prinsip serta 9 langkah pengambilan keputusan ini. Saya merasa keputusan yang diambil lebih baik dan saya juga merasa adil terhadap keputusan tersebut.Langkah pertama yang akan saya ambil terkait dilema etika adalah mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini hingga lihat lagi keputusan dan Refleksikan.Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Ketika R. M. Suwardi Suryaningrat yang kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman siswa) pada tahun 1922, beliau mencetuskan asas-asas pendidikan yang kerap kita kenal sebagai patrap triloka. Patrap triloka terdiri atas tiga semboyan yang sampai saat ini menjadi panutan di dunia pendidikan Indonesia: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Umumnya semboyan tersebut diterjemahkan menjadi “di depan memberi teladan”, “di tengah membangun motivasi”, dan “di belakang memberikan dukungan”. Setelah lebih dari sembilan dasawarsa, semboyan tersebut masih kontekstual di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi digital yang sangat deras. Namun ada baiknya kita mengelaborasi kembali makna patrap triloka tersebut di masa kini. Perubahan konteks lingkungan sangat memungkinkan memunculkan pemaknaan baru terhadap suatu warisan pemikiran pendahulu kita.Bahwa pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap sebuah pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran diambil sangatlah relevan. Dalam kerangka lingkungan yang lebih egaliterian akibat kehadiran teknologi digital, setiap asas dari patrap triloka bisa kita elaborasi kembali maknanya. Pertama, Ing ngarso sung tuladha bisa dimaknai dengan lebih egaliter. Sangat tepat sekali apabila seorang guru menjadi teladan karakter yang baik seperti menjadi teladan kedisiplinan, sopan santun, dan sikap mental positif. Namun alangkah lebih baik lagi bila di dalam konteks era digital yang egaliterian ini, ketika sistem pendidikan kita menuntut para siswa untuk belajar, guru dapat menjadi teladan pembelajar sepanjang hayat. Guru juga harus terus belajar tanpa henti dan menunjukkan unjuk kerja pembelajarannya kepada para siswanya. Salah satu contoh paling mudah adalah dengan melakukan eksplorasi terhadap teknologi baru. Di dalam jaringan Internet terdapat beragam piranti lunak yang dapat digunakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang baru dan menyenangkan, sebut saja Pinterest, Edmodo, Glogster, dll. Atau mungkin para guru perlu mencoba memanfaatkan jejaring media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk keperluan pembelajaran. Beberapa guru mungkin memiliki resistensi dengan alasan sudah terlambat untuk mempelajari teknologi baru tersebut. Kabar baiknya, teknologi digital yang ada sekarang dirancang oleh pembuatnya agar pengguna semudah mungkin menggunakannya. Desain piranti lunak digital yang baik selalu disertai user support. Kuncinya adalah keberanian untuk mencoba hal baru dan semangat untuk menjadi teladan yang baik, sebagai pembelajar sepanjang hayat: Ing ngarso sung tuladha. Belajar mengintegrasikan teknologi digital dalam proses pembelajaran terkait dengan elaborasi pemaknaan asas patrap triloka berikutnya: Ing madya mangun karsa. Jika berbicara mengenai motivasi tentu kita dapat berbicara mengenai motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Guru sebagai pemilik otoritas umumnya berkewenangan untuk memberikan motivasi ekstrinsik. Namun dalam era digital ini, pembelajaran berjalan dengan lebih optimal apabila anak memiliki motivasi intrinsik, motivasi yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari dalam dirinya sendiri. Pertanyaannya, bagaimana caranya membangun motivasi intrinsik siswa? Manfaatkan teknologi digital. Teknologi digital, seperti Internet dan digital game, sudah menjadi konsumsi keseharian siswa generasi saat ini. Dengan integrasi teknologi digital di dalam proses pembelajaran, siswa mendapatkan lingkungan belajar yang sesuai dengan konteks perkembangan zaman mereka. Sebagai referensi, di Eropa dan Amerika para guru mulai menerapkan game-based learning di dalam kelas-kelas mereka. Tidak berhenti pada aktivitas menggunakan game edukasional yang tersedia, para siswa diajak untuk membuat game mereka sendiri dengan menggunakan piranti lunak bernama ‘Scratch’ yang dikembangkan oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology). Aktivitas membuat game mengkondisikan siswa untuk menggali informasi yang dibutuhkan sesuai topik yang diberikan dan menerapkannya ke dalam game yang mereka buat. Tentang motivasi intrinsiknya, jangan ditanya, anak-anak adalah game, dan game adalah anak-anak. Tentu, para siswa tersebut sangat bersemangat. Terakhir, tut wuri handayani juga dapat dielaborasi maknanya dalam konteks perkembangan teknologi digital. ‘Handayani’ berasal dari kata dasar ‘daya’. Sehingga, ‘handayani’ berarti ‘memberdayakan’ (empowering). Dalam konteks kekinian, tut wuri handayani bukan semata-mata ‘di belakang memberikan dukungan’ tetapi juga tentang bagaimana guru memberikan ruang dan kepercayaan kepada siswa. Banyaknya pandangan negatif terhadap teknologi digital adalah cermin rendahnya ruang dan kepercayaan yang diberikan kepada generasi muda saat ini. Adalah benar bahwa teknologi digital membawa sisi buruk ketika dimanfaatkan tidak pada tempatnya. Tetapi, seperti kata sebuah pepatah Cina, bukankah lebih baik kita menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan? Memberi ruang dan kepercayaan kepada siswa akan melatih siswa untuk menjaga kepercayaan yang diberikan kepadanya. Teknologi digital yang berkembang akhir-akhir ini umumnya bersifat user-generated. Artinya bahwa pengguna teknologi diberi kebebasan untuk membanjiri media yang tersedia dengan konten yang dimilikinya. Contoh yang paling mudah adalah layanan blog seperti Wordpress dan Blogspot. Ketersediaan teknologi tersebut dapat digunakan untuk memberikan panggung kepada siswa mengekspresikan apa yang telah dipelajarinya dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang memberdayakan adalah manifestasi asas patrap triloka yang menjadi slogan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan: tut wuri handayani. Meskipun kondisi zaman berubah, pandangan Ki Hadjar Dewantara terhadap proses pembelajaran masih kontekstual. Ketika itu beliau menginginkan bahwa pendidikan harus dapat mencetak anak-anak yang dapat hidup tertib dan damai (orde en vrede), tumbuh secara alami (natuurlijke groei), dan menentukan nasibnya sendiri (Zelfbeschikkingsrecht). Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam patrap triloka dapat dielaborasi dan dimaknai sesuai konteks yang ada. Dengan memaknai kembali patrap triloka dan memanifestasikannya dalam proses pembelajaran, harapannya, kita dapat mewujudkan cita-cita Ki Hadjar Dewantara: pendidikan yang memerdekakan.Pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia dalam arti bahwa menjadi manusia yang mandiri, agar tidak tergantung kepada orang lain baik lahir ataupun batin. Kemerdekaan yang dimaksud terdiri dari 3 macam, yaitu; berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan dapat mengatur pada dirinya sendiri.Beberapa falsafah yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro berkenaan dengan pendidikan:

1.      Segala alat, usaha dan juga cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya.

2.      Kodratnya itu tersimpan dalam adat istiadat setiap masyarakat dengan berbagai kekhasan, yang kesemuanya itu bertujuan untuk mencapai hidup tertib dan damai.

3.      Adat istiadat sifatnya selalu berubah ( Dinamis)

4.      Untuk mengetahui karakteristik masyarakat saat ini diperlukan kajian mendalam tentang kehidupan masyarakat tersebut dimasa lampau, sehingga dapat diprediksi kehidupan yang akan datang pada masyarakat tersebut.

5.      Perkembangan budaya masyarakat akan dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, hal ini terjadi karena terjadinya pergaulan antar bangsa.

Dari pengalaman kita bekerja kita pada institusi pendidikan,  kita telah mengetahui bahwa dilema etika adalah hal berat yang harus dihadapi dari waktu ke waktu.Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasari yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan  akan hidup.

Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini:

1.      Individu lawan masyarakat (individual vs community)

2.      Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

3.      Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

4.      Jangka pendek lawan  jangka panjang (short term vs long term)

Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Dalam seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu  dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:

1.      Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

2.      Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

3.      Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

9 langkah Pengambilan Keputusan

Di bawah ini adalah 9 langkah yang telah disusun secara berurutan untuk memandu Anda dalam mengambil keputusan dalam situasi dilema etika yang membingungkan karena adanya beberapa nilai-nilai yang bertentangan.

Langkah 1.

Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini.

Ada 2 alasan mengapa langkah ini adalah langkah yang penting dalam pengujian keputusan. Alasan yang pertama, langkah ini mengharuskan kita untuk mengidentifikasi masalah yang perlu diperhatikan, alih-alih langsung mengambil keputusan tanpa menilainya dengan lebih saksama. Alasan yang kedua adalah karena langkah ini akan membuat kita menyaring masalah yang betul-betul berhubungan dengan aspek moral, bukan masalah yang berhubungan dengan sopan santun dan norma sosial. Untuk mengenali hal ini bukanlah hal yang mudah. Kalau kita terlalu berlebihan dalam menerapkan langkah ini, dapat membuat kita menjadi orang yang terlalu mendewakan aspek moral, sehingga kita akan mempermasalahkan setiap kesalahan yang paling kecil pun. Sebaliknya bila kita terlalu permisif, maka kita bisa menjadi apatis dan tidak bisa mengenali aspek-aspek permasalahan etika lagi.  

Langkah 2.

Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini.

Bila kita telah mengenali bahwa ada masalah moral di situasi tertentu. Pertanyaannya adalah dilema siapakah ini? Hal yang seharusnya membedakan bukanlah pertanyaan apakah ini dilema saya atau bukan. Karena dalam hubungannya dengan permasalahan moral, kita semua seharusnya merasa terpanggil.

Langkah 3

Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini.

Pengambilan keputusan yang baik membutuhkan data yang lengkap dan detail, seperti misalnya apa yang terjadi di awal situasi tersebut, bagaimana hal itu terkuak, dan apa yang akhirnya terjadi, siapa berkata apa pada siapa, kapan mereka mengatakannya.  Data-data tersebut penting untuk kita ketahui karena dilema etika tidak menyangkut hal-hal yang bersifat teori, namun ada faktor-faktor pendorong dan penarik yang nyata di mana data yang mendetail akan bisa menggambarkan alasan seseorang melakukan sesuatu dan kepribadian seseorang akan tercermin dalam situasi tersebut. Hal yang juga penting di sini adalah analisis terhadap hal-hal apa saja yang potensial akan terjadi di waktu yang akan datang.

Langkah 4

Pengujian benar atau salah

o    Uji Legal

Pertanyaan yang harus diajukan disini adalah apakah dilema etika itu menyangkut aspek pelanggaran hukum. Bila jawabannya adalah iya, maka pilihan yang ada bukanlah antara benar lawan benar, namun antara benar lawan salah. Pilihannya menjadi membuat keputusan yang mematuhi hukum atau tidak, bukannya keputusan yang berhubungan dengan moral.

 

o    Uji Regulasi/Standar Profesional

Bila dilema etika tidak memiliki aspek pelanggaran hukum di dalamnya, mungkin ada pelanggaran peraturan atau kode etik. Konflik yang terjadi pada seorang wartawan yang harus melindungi sumber beritanya,  seorang agen real estate yang tahu bahwa seorang calon pembeli potensial sebelumnya telah dihubungi oleh koleganya? Anda tidak bisa dihukum karena melanggar kode etik profesi Anda, tapi Anda akan kehilangan respek sehubungan dengan profesi Anda.

Langkah 5

Pengujian Paradigma Benar lawan Benar.

Dari keempat paradigma berikut ini, paradigma mana yang terjadi di situasi ini?

1.      Individu lawan masyarakat (individual vs community)

2.      Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

3.      Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

4.      Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

 Apa pentingnya mengidentifikasi paradigma, ini bukan hanya mengelompokkan permasalahan namun membawa penajaman pada fokus kenyataan bahwa situasi ini betul-betul mempertentangkan antara dua nilai-nilai inti kebajikan yang sama-sama penting.

Langkah 6

Melakukan Prinsip Resolusi

Dari 3 prinsip penyelesaian dilema, mana yang akan dipakai?

o    Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

o    Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

o    Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

Langkah 7

o    Investigasi Opsi Trilema

o    Mencari opsi yang ada di antara 2 opsi. Apakah ada cara untuk berkompromi dalam situasi ini. Terkadang akan muncul sebuah penyelesaian yang kreatif dan tidak terpikir sebelumnya yang bisa saja muncul di tengah-tengah kebingungan menyelesaikan masalah

Langkah 8

o    Buat Keputusan

o    Akhirnya kita akan sampai pada titik di mana kita harus membuat keputusan yang membutuhkan keberanian secara moral untuk melakukannya.

Langkah 9

o    Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

o    Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Bahwa suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat untuk dilakukannya dan itu terjadi karena benar vs benar antara Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) atau Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking).Misalnya : Menyontek tetaplah salah apapun alasannya.Namun Dilema melaporkan kasus adalah benar karena Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) sedangkan memberikan pengecualian atas dasar masa depan anak juga tidaklah salah karena Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking).

Bahwa etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan. Dalam seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu  dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip tersebut adalah:

1.      Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)

2.      Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)

3.      Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

Bahwa 9 langkah yang telah disusun secara berurutan sangat memandu kami dalam mengambil keputusan dalam situasi dilema etika yang membingungkan karena adanya beberapa nilai-nilai yang bertentangan.Mulai dari Langkah 1. Mengenali bahwa ada nilai-nilai yang saling bertentangan dalam situasi ini hingga lihat lagi keputusan dan Refleksikan.Ketika keputusan sudah diambil. Lihat kembali proses pengambilan keputusan dan ambil pelajarannya untuk dijadikan acuan bagi kasus-kasus selanjutnya.

Dampak mempelajari modul ini adalah sangat positif, bahwa terjadi perubahan pada cara dalam mengambil keputusan.Sebelumnya bujukan moral terkadang dianggap benar, Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking), dan singkatnya implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan belum tepat sasaran. Setelah mempelajari modul ini adalah sangat positif bahwa terjadi perubahan pada cara dalam mengambil keputusan menjadi sangat sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan.

Sangat penting mempelajari topik modul ini sebagai seorang individu, bahwa cara dalam mengambil keputusan menjadi sangat sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan memberikan kepastian kongkrit sehingga menjadi seorang individu yang lebih baik.Sangat penting mempelajari topik modul ini sebagai seorang pemimpin pembelajaran, bahwa cara dalam mengambil keputusan menjadi sangat sistematis, massif terkait implementasi dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan memberikan kepastian kongkrit dalam tatanan tugas dan tanggung jawab profesi. Suka atau tidak, di luar kelebihan dan kelemahannya, baik atau tidak karakternya, guru sudah terlanjur dipandang sebagai orang yang dapat diteladani di tengah masyarakat kita. Guru sesungguhnya memiliki kesempatan untuk menjadi teladan bagi muridnya. Kini, pilihannya adalah memanfaatkan kesempatan itu dengan sengaja atau membiarkannya lewat begitu saja dan tidak melakukan apa-apa. Menjadi teladan harus diusahakan secara sadar.Lumpkin (2008), menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru ini membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka memercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka.Menjadi change leaders from change agents dalam transformasi Pendidikan di sekolah utamanya menciptakan kelas seperti taman, yang pembelajarannya menuntun, pembelajaran berhamba pada murid, juga mengimplementasikan pendidikan budi pekerti sejalan dengan penguatan pendidikan karakter, mengembalikan jati diri guru yang seyogyanya menjadi pemimpin pembelajaran sesuai dengan filosofi bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara yakni ”Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” artinya ”Di Depan Menjadi Panutan atau Contoh, Di Tengah menjadi Penjalar atau Penyeimbang, dan di Belakang melakukan Dorongan (prajurit, ibaratnya)”. Dalam hal ini dikolaborasikan dalam rancangan pembelajaran (RPP ), pelaksanaan pembelajaran ( KBM) dan asesmen terhadap pembelajaran itu sendiri sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ( UUGD ).

Kesimpulan akhir saya terkait modul pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran dengan modul-modul sebelumnya merupakan sebuah rangkaian paralel yang tak dapat terpisahkan untuk mencapai sebuah kemerdekaan dalam belajar bagi murid. Semuanya terlihat sangat jelas sesuai pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam proses menuntun segala kodrat/potensi anak untuk mencapai sebuah keselamatan dan kebahagiaan belajar, baik untuk dirinya sendiri, lingkungan sekolah, dan masyarakat. Disamping itu, terdapat nilai dan peran guru penggerak sebagai agen perubahan transformasi pendidikan di sekolah asal dalam menerapkan budaya positif dengan mengedepankan pembelajaran yang berpihak kepada murid

Link Youtube Demontrasi Kontekstual -Pengambilan Keputusan sebagai pemimpin pembelajaran

https://youtu.be/bQBhO62sCqQ 

 

Jelaskan pula bagaimana Anda melihat kaitan antara materi dalam modul ini dengan modul lain di Program Pendidikan Guru Penggerak. 

REFLEKSI FILOSOFIS PENDIDIKAN NASIONAL KI HADJAR DEWANTARA

Ki Hadjar Dewantara (KHD) membedakan kata Pendidikan dan Pengajaran dalammemahami arti dan tujuan Pendidikan. Menurut KHD, pengajaran (onderwijs) adalah bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin. Sedangkan Pendidikan (opvoeding) memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut KHD (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupunhidup berbudaya dalam arti yang seluas luasnya”. Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak” .Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal. Dalam proses “menuntun”, anak diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya.Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. KHD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.


NILAI-NILAI DAN PERAN GURU PENGGERAK

Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan di dalam diri murid-muridnya. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan lingkungan dimana murid berproses menumbuhkan nilai-nilai dirinya tersebut. Dengan demikian, guru patut mengembangkan lingkungan yang sifatnya fisik (ekstrinsik) dan yang sifatnya psikis (intrinsik).



VISI GURU PENGGERAK

VISI: MENGELOLA PERUBAHAN DAN LINGKUNGAN YANG POSITIF

Menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Namun, dalam prakteknya, kalimat tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan karena diperlukan perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Perubahan yang positif dan konstruktif di sekolah biasanya membutuhkan waktu dan bersifat gradual. Oleh karena itu, sebagai pemimpin, guru penggerak hendaknya terus berlatih mengelola diri sendiri sambil terus berupaya menggerakkan orang lain yang berada di bawah pengaruhnya untuk menjalani proses bersama-sama. Hal ini perlu dilakukan dengan niatan belajar yang tulus demi mewujudkan visi sekolah. Dalam pembelajaran kali ini, kita akan mengeksplorasi paradigma yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA dikenal sebagai pendekatan manajemen perubahan yang kolaboratif dan berbasis kekuatan. Konsep IA ini pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider (Noble & McGrath, 2016). Dalam sebuah video di Youtube, Cooperrider menyatakan bahwa pendekatan IA dapat membantu membebaskan potensi inovatif dan kreativitas, serta menyatukan orang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh proses manajemen perubahan yang biasa. IA menggunakan prinsip-prinsip utama psikologi positif dan pendidikan positif. Pendekatan IA percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dengan demikian, dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan. Dalam modul 1.3 ini, kita akan belajar tentang IA sebagai salah satu model manajemen perubahan dan mencoba menerapkannya melalui tahapan dalam IA yang disebut dengan BAGJA (Buat Pertanyaan, Ambil Pelajaran, Gali Mimpi, Jabarkan Rencana, Atur Eksekusi).



BUDAYA POSITIF

Budaya sekolah yang berdampak baik pada pengembangan karakter murid. Kita semua percaya bahwa tujuan penting sekolah adalah pembentukan karakter. Itu mengapa banyak program sekolah yang bertujuan untuk menumbuhkan karakter murid. Misalnya saja dulu pernah ada program kantin kejujuran dengan tujuan menumbuhkan karakter jujur pada murid atau program yang banyak dicanangkan saat ini adalah program literasi untuk menumbuhkan karakter kritis pada murid. Sebagai guru saya akan memosisikan diri saya sebagai guru 5 manager karena menerapkan konsepsi filosofis pendidikan KHD, menuju murid merdeka yang tetap dalam kontrol positif.Rencana ke depan saya akan melakukan seperti guru 5 manager karena menerapkan konsepsi filosofis pendidikan KHD, menuju murid merdeka yang tetap dalam kontrol positif. Pada umumnya orang sering melihat 'disiplin' sebagai hal yang sama dengan 'hukuman', namun disiplin dan hukuman adalah dua hal yang berbeda.Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku  murid, disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari. Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar mengajar yang efektif. Kesepakatan kelas tidak hanya berisi harapan guru terhadap murid, tapi juga harapan murid terhadap pengajar. Kesepakatan disusun dan dikembangkan bersama-sama antara guru dan murid. Penerapan kesepakatan kelas dapat membangun budaya positif karena kesepakatan kelas adalah kesepakatan bersama yang saling menghargai pendapat untuk sebuah proses yang sangat baik sehingga terbangun budaya positif. Disiplin Positif sebagai landasan budaya positif dalam membangun hubungan guru dan murid di sekolah. 



PRAKTIK PEMBELAJARAN YANG BERPIHAK PADA MURID

Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi

Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.

Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

1. Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar dan bekerja keras untuk mencapai tujuan belajar yang tinggi. Kemudian juga memastikan setiap murid di kelasnya tahu bahwa akan selalu ada dukungan untuk mereka di sepanjang prosesnya.

2. Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas. Jadi bukan hanya guru yang perlu jelas dengan tujuan pembelajaran, namun juga muridnya.

3. Penilaian berkelanjutan. Bagaimana guru tersebut menggunakan informasi yang didapatkan dari proses penilaian formatif yang telah dilakukan, untuk dapat menentukan murid mana yang masih ketinggalan, atau sebaliknya, murid mana yang sudah lebih dulu mencapai tujuan belajar

yang ditetapkan.

4. Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya. Bagaimana ia akan menyesuaikan rencana pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid tersebut. Misalnya, apakah ia perlu menggunakan sumber yang berbeda, cara yang berbeda, dan penugasan serta penilaian yang berbeda.

5. Manajemen kelas yang efektif. Bagaimana guru menciptakan prosedur, rutinitas, metode yang memungkinkan adanya fleksibilitas. Namun juga struktur yang jelas, sehingga walaupun mungkin melakukan kegiatan yang berbeda, kelas tetap dapat berjalan secara efektif.

Bahwa diferensiasi pembelajaran bukan hanya dapat dilakukan dalam 3 bentuk (konten, proses, produk), tetapi juga bentuk lainnya, misalnya

diferensiasi lingkungan belajar.

Dari yang sudah dipelajari pada materi awal modul 2.1 pembelajaran berdiferensiasi tentunya akan mengubah pola pikir tentang bagaimana mengajar yang baik menjadi sistem mengajar berdiferensiasi yang baik bagi.

Dari cara melihat perbedaan pembelajaran yang baik dan pembelajaran diferensiasi yang baik, jelas terlihat disini, dengan menerapkan salah satu strategi pembelajaran berdiferensiasi ketika kita membuat rancangan peta kebutuhan belajar berdasarkan minat tujuan pembelajaran akan sangat terasa perbedaan dalam kita menerapkan sistem pembelajaran berdiferensiasi dan dituangkan ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.

Sistem pembelajaran yang sangat baik yang harus diterapkan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar. Fakta yang disampaikan bahwa pembelajaran berdiferensiasi ini adalah ada beberapa strategi yang harus dilakukan  oleh seorang guru yang kesemuanya itu harus mencerminkan pemahaman murid dan tujuan pembelajaran.

Dalam pembelajaran berdiferensiasi harus memperhatikan strategi-strategi dalam penerapannya, ada 3 strategi yang kita harus perhatikan yaitu:

1.    Konten

Dimana strategi ini guru harus memperhatikan kesiapan murid yang berupa rangsangan kepada murid berupa tantangan dan pertanyaan-pertanyaan mengenai pemahaman ide. Lalu minat, contohnya pada muatan pelajaran Bahasa Indonesia pada mengarang berbagai teks narasi topik yang disukai murid. Selanjutnya adalah profil belajar murid disini murid disuguhi gaya belajar visual yang diberikan dlm bentuk gambar/ materi audio.

2.    Proses

Dimana strategi ini guru mempersiapkan bagaimana murid memahami informasi, kesiapan belajar individu atau klompok, dan yang terakhir adalah berapa banyak bantuan dari guru untuk murid  dengan bentuk pertanyaan memandu.

3.    Produk

Adalah tagihan apa yang kita harapkan dari murid/ hasil pekerjaan murid yang di tunjukan kepada guru, berupa: berbentuk karangan, berbentuk hasil tes, presentasi diskusi, pertunjukan, pidato, rekaman, diagram. yang kesemuanya itu harus mencerminkan pemahaman murid dan tujuan pembelajaran yang di harapkan

Di awali dengan cara guru membuat pemetaan Kebutuhan Belajar Berdasarkan Minat Tujuan Pembelajaran, ada 3 contoh pemetaan disini adalah:

1.    Pemetaan Kebutuhan Belajar Berdasarkan Minat: murid dapat membuat tulisan berbentuk prosedur.

Dalam contoh di sini, guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan perbedaan minat murid.

2.    Pemetaan Kebutuhan Belajar Berdasarkan Kesiapan Belajar (Readiness)

Dalam contoh di sini, guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan kesiapan belajar murid.

3.    Pemetaan Kebutuhan Belajar Berdasarkan Profil Belajar Murid: murid dapat mendemonstrasikan pemahaman mereka tentang habitat makhluk hidup

Dalam contoh di sini, guru mendiferensiasi pembelajaran dengan mempertimbangkan perbedaan gaya belajar.

Dilanjutkan dengan menggabungkan : (1) konten — masukan, apa yang dipelajari murid; (2) proses — bagaimana murid berupaya memahami ide dan informasi; dan (3) produk — keluaran, atau bagaimana murid menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.

Dengan membedakan ketiga elemen ini, guru menawarkan pendekatan berbeda terhadap apa yang dipelajari murid, bagaimana mereka mempelajarinya, dan bagaimana mereka menunjukkan apa yang telah mereka pelajari. Kesamaan dari pendekatan yang berbeda ini adalah bahwa semuanya dibuat untuk mendorong pertumbuhan semua murid dalam usaha mereka mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dan untuk memajukan atau meningkatkan proses pembelajaran baik untuk kelas secara keseluruhan maupun untuk murid secara individu.

Selanjutnya Lingkungan belajar yang mendukung pembelajaran yang berdiferensiasi. Learning community/ Komunitas Belajar yang semua anggotanya pembelajar (saling dukung lingkungan belajar antara guru dengan murid). Maka pemenuhan kebutuhan belajar murid akan mencapai hasil belajar yang optimal.

Pembelajaran berdiferensiasi sangat erat kaitannya dengan apa yang sudah menjadi tujuan utama para guru yaitu menuntun anak-anak murid sesuai dengan minat dan bakat mereka yang berbeda, menumbuhkan motivasi intrinsik para murid untuk lebih bersemangat dalam kegiatan belajar mereka, sehingga karakter baik pun akan terbentuk menuju karakter profil pelajar pancasila.

Link youtube pembelajaran diferensiasi berbasis KSE https://youtu.be/pJagc2m81wo 

Pembelajaran Sosial dan Emosional

Pembelajaran Sosial dan Emosional adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan orang dewasa di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional. Pembelajaran sosial dan emosional bertujuan untuk 1) memberikan pemahaman, penghayatan dan kemampuan untuk mengelola emosi 2)menetapkan dan mencapai tujuan positif 3)merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain 4)membangun dan mempertahankan hubungan yang positif serta 5)membuat keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran sosial dan emosional dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup:

1. Rutin: pada saat kondisi yang sudah ditentukan di luar waktu belajar akademik, misalnya kegiatan lingkaran pagi (circle time), kegiatan membaca setelah jam makan siang

2. Terintegrasi dalam mata pelajaran: misalnya melakukan refleksi setelah menyelesaikan sebuah topik pembelajaran, membuat diskusi kasus atau kerja kelompok untuk memecahkan masalah, dll.

3. Protokol: menjadi budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Misalnya, menyelesaikan konflik yang terjadi dengan membicarakannya tanpa kekerasan, mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, dll.

Pembelajaran KSE meliputi 5 kompetensi sosial dan emosional dalam 3 ruang lingkup (rutin, terintegrasi dalam mapel, dan protokol) sesuai dengan jenjang pendidikan masing

Stres dalam istilah psikologi menurut Laura King, dalam bukunya “The Science of

Psychology”, adalah respons individu terhadap kejadian atau keadaan yang

mengancam. Ibu Adriana berada dalam situasi stress karena begitu banyak tuntutan peran dan tanggungjawab yang perlu ditanggungnya. Sebut saja peran sebagai guru dengan

tanggung jawab yang tidak kecil, menjadi panitia acara besar, memenuhi tanggung

jawab personal dalam keluarga, itu semua bukanlah perkara mudah. Ekspresi emosi yang ditunjukkan Ibu Adriana dalam contoh kasus 1–5 bisa jadi muncul sebagai responnya terhadap keadaan atau situasi lingkungan saat itu. Keadaan yang tanpa disadari Ibu Adriana mengancam dirinya. Untuk mencapai pemahaman kesadaran diri dan mampu mengenali emosinya, Ibu Adriana perlu mempraktikkan kesadaran penuh (mindfulness). Teknik STOP berikut ini dapat digunakan untuk mengembalikan pada kondisi saat ini dengan kesadaran penuh. STOP merupakan akronim dari:

Stop/ Berhenti. Hentikan apapun yang sedang Anda lakukan.

Take a deep Breath/ Tarik nafas dalam. Sadari napas masuk, sadari napas keluar.

Rasakan udara segar yang masuk melalui hidung. Rasakan udara hangat yang keluar

dari lubang hidung. Lakukan 2-3 kali. Napas masuk, napas keluar.

Observe/ Amati. Amati apa yang Anda rasakan pada tubuh Anda? Amati perut

yang mengembang sebelum membuang napas. Amati perut yang mengempes saat

Anda membuang napas. Amati pilihan-pilihan yang dapat Anda lakukan.

Proceed/ Lanjutkan. Latihan selesai. Silahkan lanjutkan kembali aktivitas Anda

dengan perasaan yang lebih tenang, pikiran yang lebih jernih, dan sikap yang lebih

positif.

Kesadaran penuh (mindfulness) memiliki korelasi yang tinggi terhadap kesadaran

diri sebagai kompetensi pembelajaran sosial dan emosional. Kembali kepada

pengenalan emosi, terdapat enam emosi dasar pada kita manusia. Enam emosi

tersebut yaitu takut, jijik, marah, kaget, bahagia, dan sedih. Emosi-emosi ini muncul

akibat reaksi fisik, aktivitas pikiran dan pengaruh budaya. Saat Ibu Adriana sadar bahwa saat itu dirinya sedang mengalami gejolak emosi tertentu, Ibu Adriana perlu mengenali dengan memberi nama emosinya saat itu. Jadi saat mempraktikkan kesadaran penuh, Ibu Adriana dapat mulai merasakan dan mengenali dengan jelas emosinya saat itu. Maka dia pun mulai dapat memberikan nama terhadap emosinya.

Contoh: Saya merasa … (marah, sedih, kecewa).

Robert Plutchick sangat terkenal dengan karyanya tentang teori emosi manusia atau disebut Roda Emosi Plutchik (Plutchik's Wheel of Emotions). Ia menerangkan delapan emosi dasar yang masing-masing dapat dibagi tiga menurut intensitasnya. Berikut daftar ke-8 emosi dasar dan tiga sub-bagiannya berurut menurut intensitas dari rendah ke tinggi, antara lain:

1.      kegembiraan (joy): serenity - joy - ecstasy

2.      kepasrahan (acceptance): acceptance - trust - admiration

3.      ketakutan (fear): apprehension - fear - terror

4.      keterkejutan (surprise): distraction - surprise - amazement

5.      kesedihan (sadness): pensiveness - sadness - grief

6.      kemuakan (disgust): boredom - disgust - loathing

7.      kemarahan (anger): annoyance - anger - rage

8.      antisipasi (anticipation): interest - anticipation – vigilance

Gabungan emosi-emosi dasar tersebut menyusun delapan emosi lanjut:

1.      kecintaan (love)

2.      ketundukan (submission)

3.      ketakjuban (awe)

4.      kekecewaan (disapproval)

5.      penyesalan (remorse)

6.      pelecehan (contempt)

7.      keagresifan (aggressiveness)

8.      optimisme (optimism)

Dari paparan atau bagian-bagian yang dijelaskan oleh Robert Plutchik, kita akan lebih mudah dalam memahami semua emosi manusia, bahkan jika kita menghadapi masalah akan lebih dimudahkan, sehingga teori Robert ini serta bagan-bagannya bisa menjadi patokan kita dalam mempelajari Sosial-emosional anak usia dini.

Link youtube pembelajaran diferensiasi berbasis KSE https://youtu.be/pJagc2m81wo 


KESIMPULAN Modul 2.3 Koneksi Antar Materi - Coaching

PENJELASAN ISTILAH KUNCI :

·        coach : pemberi manfaat dan pelaksana kegiatan coaching

·        coachee : penerima kegiatan dan manfaat kegiatan coaching

·        coaching : kegiatan percakapan yang menstimulasi pemikiran coachee dan memberdayakan potensi coachee

·        community of practice : sebuah kelompok yang terbentuk dengan tujuan berlatih dan mempraktikan materi pelatihan untuk pengembangan bersama

MATERI POKOK Modul 2.3 Coaching

a)      Pengenalan sistem coaching dalam konteks pendidikan

Para ahli mendefinisikan coaching sebagai: • sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999)

• kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya.

Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya (Whitmore, 2003)

International Coach Federation (ICF) mendefinisikan coaching sebagai: “…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” Dari definisi ini, Pramudianto (2020) menyampaikan tiga makna yaitu:

1.      Kemitraan. Hubungan coach dan coachee adalah hubungan kemitraan yang setara. Untuk membantu coachee mencapai tujuannya, seorang coach mendukung secara maksimal tanpa memperlihatkan otoritas yang lebih tinggi dari coachee.

2.      Memberdayakan. Proses inilah yang membedakan coaching dengan proses lainnya. Dalam hal ini, dengan sesi coaching yang ditekankan pada bertanya reflektif dan mendalam, seorang coach menginspirasi coachee untuk menemukan jawaban-jawaban sendiri atas permasalahannya.

3.      Optimalisasi. Selain menemukan jawaban sendiri, seorang coach akan berupaya memastikan jawaban yang didapat oleh coachee diterapkan dalam aksi nyata sehingga potensi coachee berkembang.

 

Ki Hadjar Dewantara menekankan bahwa tujuan pendidikan itu ‘menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. oleh sebab itu peran seorang coach (pendidik) adalah menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Dalam proses coaching, murid diberi kebebasan namun pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar murid tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’ melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan kodrat anak terpancar dari dirinya. Dalam konteks pendidikan Indonesia saat ini, coaching menjadi salah satu proses ‘menuntun’ kemerdekaan belajar murid dalam pembelajaran di sekolah. Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Program ini dapat membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar untuk mengeksplorasi diri guna mencapai tujuan pembelajaran dan memaksimalkan potensinya. Harapannya, proses coaching dapat menjadi salah satu langkah tepat bagi guru untuk membantu murid mencapai tujuannya yaitu kemerdekaan dalam belajar. Masih terkait dengan kemerdekaan belajar, proses coaching merupakan proses untuk mengaktivasi kerja otak murid. Pertanyaan-pertanyaan reflektif dalam dapat membuat murid melakukan metakognisi. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dalam proses coaching juga membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam. Yang akhirnya, murid dapat menemukan potensi dan mengembangkannya.

Murid kita di sekolah tentunya memiliki potensi yang berbeda-beda dan menunggu

untuk dikembangkan. Pengembangan potensi inilah yang menjadi tugas seorang

guru. Apakah pengembangan diri anak ini cepat, perlahan-lahan atau bahkan

berhenti adalah tanggung jawab seorang guru. Pengembangan diri anak dapat

dimaksimalkan dengan proses coaching. International Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu: Empat keterampilan dasar seorang coach seharusnya dapat dimiliki oleh guru yakni :

1.      keterampilan membangun dasar proses coaching

2.      keterampilan membangun hubungan baik

3.      keterampilan berkomunikasi

4.      keterampilan memfasilitasi pembelajaran


b)     Komunikasi yang memberdayakan (Menjadi pendengar aktif, bertanya reflektif dan memberikan umpan balik positif)

 4 unsur utama yang mendasari prinsip komunikasi yang memberdayakan:

1)     Hubungan saling mempercayai

2)      Menggunakan data yang benar

3)      Bertujuan menuntun para pihak untuk optimalisasi potensi

4)      Rencana tindak lanjut atau aksi

Coaching adalah salah satu kompetensi pemimpin di abad 21 yang perlu untuk terus dikembangkan, dan lewat keterampilan berkomunikasi yang terus diasah, kita dapat memberdayakan potensi murid kita sehingga baik mereka ataupun diri kita sendiri dapat optimal dalam belajar dan berkarya. empat aspek berkomunikasi yang perlu kita pahami dan kita latih untuk mendukung praktik Coaching kita.

A.    Komunikasi asertif

B.     Pendengar aktif

C.     Bertanya efektif

D. Umpan balik positif


c)                          Pengetahuan dan keterampilan model coaching (model GROW dan TIRTA)

TIRTA dikembangkan dari satu model coaching yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan, yaitu GROW model. GROW adalah kepanjangan dari Goal, Reality,

Options dan Will. Pada tahapan 1) Goal (Tujuan): coach perlu mengetahui apa

tujuan yang hendak dicapai coachee dari sesi coaching ini, 2) Reality (Hal-hal yang

nyata): proses menggali semua hal yang terjadi pada diri coachee, 3) Options

(Pilihan): coach membantu coachee dalam memilah dan memilih hasil pemikiran

selama sesi yang nantinya akan dijadikan sebuah rancangan aksi. Will (Keinginan

untuk maju): komitmen coachee dalam membuat sebuah rencana aksi dan menjalankannya. Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. Hal ini penting mengingat tujuan

coaching yaitu untuk melejitkan potensi murid agar menjadi lebih merdeka. Melalui

model TIRTA, guru diharapkan dapat melakukan praktik coaching di komunitas sekolah dengan mudah.

Link youtube Demonstrasi Kontekstual - Praktek Coaching dalam Komunitas Sekolah Saya  https://youtu.be/io8SCQXHbjU 







4 komentar:

  1. Koneksi antar materi mulai dari Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara; Nilai-Nilai, Peran, dan Visi Guru Penggerak; Budaya Positif; Praktik Pembelajaran Yang Berpihak Pada Murid; Pembelajaran Berdiferensiasi; Pembelajaran Sosial Emosional; dan Coaching terintergrasikan runtut dan sistematis sehingga sintesis yang dimunculkan dalam upaya memandu Pemimpin Pembelajaran sebagai pengambil keputusan dapat berkontribusi luar biasa positif pada proses pembelajaran murid. Sangat menginspirasi dan menjadi bahan refleksi diri dalam upaya peningkatan kompetensi untuk para guru Indonesia, guru yang meyakini profesinya mulia, guru yang memiliki roh spirit seorang guru, guru sejati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Semoga jiwa KHD yakni untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya adalah benar-benar pendidikan yang berpihak pada murid.

      Hapus
  2. Poin-poin materi yang disampaikan sangat jelas dan terdapat keterkaitan antar materi, sehingga sangat mudah dipahami untuk memandu guru dalam proses pembelajaran dan peningkatan kompetensi guru dalam mengajar. Saya sebagai mahasiswa dan merupakan calon guru akan merasa terbantu dengan adanya panduan proses pembelajaran ini, sehingga nantinya pendidikan akan berkembang kearah yang lebih baik. Dan poin yang paling penting adalah ini sangat menginspirasi dan dapat menjadi panutan bagi para guru dan calon-calon guru di masa depan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Semoga Patrap triloka yang sampai saat ini menjadi panutan di dunia pendidikan Indonesia: Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani. Umumnya semboyan tersebut diterjemahkan menjadi “di depan memberi teladan”, “di tengah membangun motivasi”, dan “di belakang memberikan dukungan” benar-benar diimplementasikan oleh guru-guru di nusantara sehingga jiwa KHD milenial mewarisi jiwa yang tulus, jiwa yang benar-benar konsepsinya KHD jiwa yang menjunjung tinggi kearifan lokalnya merawat kebhinekaan di langit NKRI

      Hapus